Inikarena mereka memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk kehendak dan kesejahteraan orang daripada apa yang mereka pikirkan tentang bagaimana mereka harus hidup dengan benar. 2.5. hubungan afektif. Memiliki seseorang dalam hubungan yang stabil dapat menjadi penting untuk memiliki masa pensiun yang stabil dan menyenangkan, saat merekaKompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Menyambung tulisan sebelumnya, Kedewasaan Emosional dan Kedewasaan Sosial, saya menyempitkan kedewasaan pada kedewasaan sosial. Sekali lagi, saya sekadar menanggapi tulisan Eddy Sutanto yang berjudul “Menuju Kedewasaan Intelektual dan Kedewasaan Spiritual”.Kedewasaan berkaitan dengan diri sendiri. Sosial berkaitan dengan orang lain. Ketika menjadi “kedewasaan sosial”, tentu saja diri sendiri berkaitan dengan ruang lingkup sekitar. Ruang lingkup sekitar dimulai dari lingkup kecil, yaitu rumah tangga atau keluarga terdekat. Lebih luas lagi adalah rumah tetangga RT, saudara-saudara, dan pergaulan terdekat. Semakin luas pada satu wilayah daerah lokal-regional. Meningkat lagi ke ranah nasional dan tulisan Eddy terdapat dua kedewasaan yang diunggulkan dalam ranah negara dan berkaitan dengan situasi Pemilihan Presiden Pilpres 2014, yaitu kedewasaan intelektual dan kedewasaan spiritual. Sementara kedewasaan emosional sempat diabaikannya seperti yang tertulis, “Kedewasaan intelektual, tentunya berkaitan erat sekali dengan logika berpikir, bukan dipengaruhi oleh emosional/ keinginan yang berlebihan, tapi cara berpikir haruslah didasari logika, dan tidak akan mempengaruhi emosi kita.”Mengenai kedewasaan spiritual, Eddy sempat menyinggung suatu sosok’ dan sosok lainnya’, yaitu “sesama manusia”. Saya persempit menjadi “manusia”. Kalau “manusia” hanya bersubstansi secara “intelektual” dan “spiritual”, adakah? Barangkali dalam diri Eddy hanya bersubstansi “intelektual-spiritual” tanpa “emosional”. Barangkali tidak saya abaikan adalah proses menuju kedewasaan intelektual dan spiritual. Mungkin kedewasaan spiritual dapat terjadi melalui proses pribadi individual, yaitu proses suatu pribadi memahami Penciptanya. Apakah proses tersebut kemudian tidak berhubungan dengan orang lain sebagai ejawantah manusia sebagai makhluk sosial? Tentu saja berhubungan, bukan?Lalu, ketika terjadi hubungan dengan orang lain, semisal tetangga, apakah kedewasaan spiritual itu cukup? Kalau orang lain itu tidak memiliki kedewasaan spiritual yang sama, lebih-lebih berbeda aliran spiritual, bisakah terjalin suatu hubungan yang selalu harmonis dan seterusnya apalagi menyangkut pergaulan dalam negara?Lalu, proses menuju kedewasaan intelektual. Apakah batasan atau ukuran “intelektual” tersebut? Kalau hanya seorang diri, sejauh mana “manusia” bisa meraih kedewasaan intelektual tanpa adanya orang lain? Belajar sendiri di rumah tanpa pernah bersekolah?Barangkali saja kedewasaan intelektual Eddy diperoleh sendiri di dalam kamarnya tanpa pernah bersekolah. Tapi, apakah itu mungkin? Saya yakin, kedewasaan intelektual Eddy juga diperoleh dari bangku sekolah pendidikan. Artinya, selama bersekolah, Eddy pasti mengalami pendewasaan emosional-sosial bersama teman-teman sekolah dan barangkali tidak juga. Eddy tidak pernah bersekolah dan tidak mengalami proses sosialisasi dengan lingkungannya. Oleh karenanya Eddy hanya memahami “kedewasaan intelektual” dam “kedewasaan spiritual”. Tidak peduli pada “kedewasaan emosional” dan “kedewasaan sosial”.Hebatnya, dengan dua kedewasaan intelektual-spiritual tersebut, Eddy membahas persoalan yang begitu luas, yakni negara Indonesia. Saya tidak berani membayangkan jika kedewasaan spiritual-intelektual diunggulkan dalam suatu pergaulan antarmanusia tanpa mengindahkan emosional perasaan orang lain dan sosial lebih dari seorang lain. Istilah “tenggang rasa”, “tepa selira”, “solidaritas”, “empati” dan sejenisnya, dari tulisan Eddy itu, seolah tidak diperlukan sebagai realitas “manusia” dan “negara” negara Indonesia.Menurut saya, pernyataan Eddy bahwa “Momen saat ini, adalah momen bersejarah bagi bangsa Indonesia, memilih Presiden dengan cara yang sangat demokratis, dimana tidak tercermin hal seperti di Indonesia di Negara-negara tetangga kita” sangat bertolak belakang kontradiktif dengan fokusnya pada “kedewasaan intelektual” dan “kedewasaan spiritual”. Mengapa? Jelas, kata “bangsa”, “demokratis”, dan “negara-negara-negara tetangga” itu sudah terlepas dari diri sendiri individual dan merupakan suatu lingkup sosial pergaulan antarmanusia.Suatu realita di Indonesia, terdapat beberapa orang yang sudah dewasa secara spiritual-intelektual tetapi dengan lantang mengobarkan “perang Badar”, atau “memfitnah” melalui media massa hingga “tindakan anarkis-berdarah” terhadap “manusia” lainnya semacam “Yogyakarta Berdarah”, atau minimal kasus “melempar handphone”. Mengapa hal itu terjadi? Bukan mustahil akibat tidak mengalami kedewasaan emosional dan sosial. Tidak ada empati, belas kasihan, tenggang rasa, dan rasa berkaitan dengan Pilpres 2014 ini, hubungan “manusia” Indonesia tidaklah cukup berhenti pada “kedewasaan intelektual-spiritual”. Pemahaman kedewasaan intelektual mengenai ke-Tuhan-an kedewasaan spiritual tidaklah cukup hanya sebatas “sesama agama” atau “sesama pendukung capres”, bukan?Dan, menyinggung kata “Indonesia”, sangat jelas berkaitan dengan “sesama bangsa-warga negara” yang ber-bhinneka tunggal ika. Artinya, untuk kepentingan berbangsa-bernegara apalagi dalam suasana Pilpres sekarang ini, sangatlah diperlukan kedewasaan emosional dan kedewasaan sosial, selain kedewasaan dengan kedewasaan yang lengkap kedewasaan intelektual-spiritual-emosional-sosial, persoalan kebangsaan dan nasional, tentu saja, akan lebih mudah disolusikan. Bersama sebagai sesama bangsa Indonesia ini jelas merupakan kedewasaan sosial, niscaya kebaikan dan kemajuan Indonesia bisa benar-benar diperjuangkan dan diwujudkan, meski tidaklah bisa langsung sempurna dalam waktu satu-dua minggu sejak seseorang terpilih menjadi presiden Republik Indonesia.*******Sabana Karang, 2014 Lihat Catatan Selengkapnya
G Kedewasaan Penuh dalam Hubungan dengan Orang Lain. Pada bait ketujuh puisi Kliping di atas, ia mengatakan demikian: Jika kau dapat berbicara kepada rakyat jelata dan mempertahankan kebajikanmu, Atau berjalan dengan raja-raja - tanpa kehilangan hubungan dengan rakyat biasa; Jika tiada musuh atau teman tercinta dapat melukaimu; Jika semua
- Menjalani hubungan butuh kedewasaan, dan usia bukan patokan untuk menilai kedewasaan seseorang. Menjadi dewasa adalah sebuah kerja keras. Untuk menjadi dewasa dalam menjalani hubungan, setidaknya ada 8 hal yang perlu diperhatikan, dipelajari, dan dilakukan. Seperti dilansir Boldsky, Senin 7/10/2019, berikut 8 cara menjalani hubungan yang dewasa. 1. Tidak egoisJika Anda ingin hubungan bertahan lama, Anda harus membuang keegoisan. Ketika berada dalam suatu hubungan, Anda harus memikirkan pilihan pasangan. Ini akan memvalidasi fakta bahwa Anda benar-benar peduli pada pasangan dan berkomitmen pada itu. Selain itu, dengan cara ini, Anda akan menghindari pertengkaran yang buruk yang mungkin sering menyebabkan percekcokan. 2. Saling percaya dan menghargai Jumlah kepercayaan dan rasa hormat yang Anda miliki untuk pasangan mencerminkan tingkat kedewasaan yang Anda miliki dalam hubungan. Terkadang, ketika ada kesalahpahaman antara Anda dan pasangan, Anda harus memercayai pasangan. Bahkan, jika Anda kesal dengan perilaku pasangan atau tidak menyetujuinya, Anda harus mendukung pasangan ketika Anda berdua berada di depan umum atau menghadiri suatu acara. Alih-alih marah, Anda bisa menyuarakan pendapat Anda dan menyelesaikan masalah dengan matang. Baca Juga Momen Sepasang Kekasih Berpelukan Terseret Arus Banjir Bandang Sembahe 3. Jangan berharap dari pasanganTidak ada manusia yang sempurna, dan oleh karena itu, sangat kekanak-kanakkan mengharapkan itu dari pasangan. Mengomel tentang kekurangan pasangan mungkin membuat hubungan menjadi lebih buruk. Hidup tidak hitam dan putih, begitu pula dengan hubungan. Selalu ada area abu-abu. Singkatnya, Anda harus selalu menerima kekurangan pasangan dan tidak menghakimi dia berdasarkan kelemahannya. Tetapi, jika Anda marah dan mengucapkan kata-kata negatif, hubungan Anda mungkin akan menderita. Anda harus memuji ketidaksempurnaannya. Dengan cara ini, kedewasaan Anda akan tercermin. 4. Bersabar dan toleransi Suatu hubungan ada up and down. Jika Anda rentan, hal lain mungkin menjadi lebih buruk. Selama perkelahian juga, Anda harus tetap tenang. Bahkan jika Anda tahu pasangan salah, alih-alih berteriak, sebaiknya bersabar. Setelah pasangan dalam suasana hati tenang, Anda dapat menjelaskan kepadanya. Kedewasaan adalah ketika Anda tetap tenang dan sabar bahkan selama masa-masa sulit. 5. Prioritaskan kebutuhan pasanganAnda harus memahami kebutuhan satu sama lain dan kemudian hubungan Anda akan menjadi indah secara otomatis. Ini tidak hanya akan menunjukkan tingkat kedewasaan, tetapi menunjukkan bahwa Anda peduli dengan kebahagiaan pasangan. 6. Memahami perspektifnyaTerkadang, mungkin Anda tidak dapat memahami perspektif pasangan atau sebaliknya. Oleh karena itu, sebagian besar waktu, pasangan membuang ide pasangannya, percaya bahwa orang lain itu salah. Kedewasaan adalah ketika Anda mempertimbangkan pilihan pasangan juga, sebelum mengambil keputusan. 7. Menerima kesalahanMenerima kesalahan dan meminta maaf adalah cara lain untuk menunjukkan kedewasaan terlepas dari kenyataan bahwa Anda tidak bersalah. Anda harus memahami bahwa hubungan Anda jauh lebih penting dan bukan situasi khusus itu. Tetapi, juga perlu membuat pasangan Anda memahami kesalahan mereka sedemikian rupa sehingga mereka tidak merasa terhina atau tersinggung. Baca Juga Pasangan Kekasih yang Buang Bayi di Lampung Timur Dibebaskan, Ini Alasan Polisi Jika pasangan Anda melakukan kesalahan, Anda perlu membantu pasangan menyadari kesalahannya tetapi dengan cara yang tenang. Anda dapat mengatakan, 'Saya pikir kamu lupa mengunci pintu saat pergi tadi pagi. Aku tahu kamu tidak akan mengulanginya.' Apalagi, jika pasangan meminta maaf atas kesalahan yang dilakukan olehnya, Anda harus memaafkan. Sebab dendam tidak sehat untuk hubungan apa pun. .